Krisis Demografi Korea Selatan dan Kebijakan untuk Meningkatkan Angka Kelahiran
Ngebait.com - Krisis demografi yang tengah dihadapi Korea Selatan semakin memprihatinkan, dengan penurunan angka kelahiran yang terus berlanjut dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan berita terkini dan terupdate hari ini, pada tahun 2024 Beberapa tahun ini terdapat banyak isu angka kelahiran di Negara Korea Selatan yang mengkhawatirkan. Berdasarkan angka kelahiran semakin menurun dari waktu ke waktu, Sehingga membuat selama bertahun-tahun menjadikan Korea Selatan menemapkan pada posisi atas Negara dengan kesuburan terendah di dunia. Untuk tahun 2024 ini menjadi tahun yang terendah dalam sejarah Negara Korea Selatan. Berdasarkan data statistik korea pada tahun 2022 tingkat kesuburan di Korea Selatan mencatatkan 0,78 anak/1 Wanita. Tahun 2023 angka terus menurun menjadi 0,72 anak/1 wanita.
South Korea fertility rate:Pada tahun 2024 angka terus menurun menjadi 0,68 anak/1 wanita. Sangat jauh dari kata ideal pada tingkat kesuburan normal yaitu 2,1 anak/1 wanita. 3 kali angka lebih sedikit di bandingkan dengan Negara Korea Selatan. Kota Seoul mencatatkan tingkat kesuburan paling rendah dengan angka 0,55 anak/1 wanita. Pada sisi lain angka harapan hidup di Korea Selatan sangat tinggi. Hal ini yang menjadikan Korea Selatan atau Korsel salah satu negara paling banyak orang tua di dunia, sebab angka kelahiran sedikit dan angka harapan hidup yang panjang. hingga tua.
Tahun 2028 menurut telegraph bahkan 1/3 tempat penitipan anak di Korsel akan ditutup karena kurangnya anak kecil. Hal ini juga menjadikan banyak pengasuh anak yang resign pada tempat kerjanya. Uniknya setelah resign banyak pengasuh anak beralih dengan mengikuti pelatihan dan menjadi pengasuh orang tua.
Alasan Orang Korea Tidak Ingin Memiliki Anak
Masalah ekonomi yaitu menjadikan alasan utama bagi warga Korsel untuk tidak memiliki anak. Menurut East Asia Forum anak muda Korsel generasi sekarang menganggap pernikahan dan menjadi orang tua adalah hal yang susah, hal yang perlu di pikirkan secara matang. Anggapan financial harus stabil hingga kebutuhan premier yaitu rumah harus mempunyai terlebih dahulu. Masalahnya dari waktu ke waktu harga rumah menjadi semakin mahal.
Survei Ministry of Land, Infrastrucure and Transport Korsel harga rumah di kota Seoul mencapai angka 15 kali lebih tinggi dari rata-rata pendapatan rumah tangga pada tahun 2022. Ini lah penyebab angka pernikahan yang kecil juga. Disisi lain seharusnya harga rumah yang lebih murah karena jumlah penduduk yang sedikit. Selain itu biaya yang di keluarkan untuk membesarkan anak di Korsel bukanlah sedikit serperti biaya sehari-hari hingga pendidikan. Pada tahun 2022 survei bahkan mencatatkan angka 26 Triliun Won jika di rupiahkan pada tahun 2024 yaitu sebesar 286 triliun untuk biaya keseluruhan mengurus anak. Biaya tersebut mencakup hanya untuk mencakup les private anak saja.
Karena itu akan menghabisakan pendapatan keluarga sebesar 28,3% ini hanya untuk 1 anak saja dan belum ditambah dengan biaya pendidikan formalnya. Alasan lain seperti budaya kerjam stigma sosial, patriarki juga menjadi penyebab wanita Korsel tidak memiliki keinginan menikah dan mempunyai anak.
Munculnya Gerakan Penolakan Wanita Korsel 4B
Para wanita dalam aksi unjuk rasa selama Hari Perempuan Internasional di Seoul, Sumber: Getty Images AsiaPac |
Munculnya gerkan penolakan wanita Korsel yaitu 4B:
- Bihno (no marrying men): Tidak ada pernikahan dengan pria.
- Bichulsan (no giving birth): Tidak ada kelahiran anak.
- Biyeonae (no dating man: Tidak ada hubungan pacaran.
- Bisekseu (no sex with men): Tidak ada hubungan intim.
Gerakan penolakan yang dikenal dengan sebutan "4B" ini mulai muncul di Korea Selatan sebagai respons terhadap ketidakpuasan banyak wanita terhadap tekanan sosial dan ketidaksetaraan gender yang masih terjadi di masyarakat. Wanita-wanita yang terlibat dalam gerakan ini merasa bahwa peran tradisional mereka sebagai ibu dan istri tidak memberikan kebebasan dan kesempatan untuk berkembang secara individu. Akibatnya, mereka memilih untuk menolak pernikahan, kelahiran anak, hubungan pacaran, dan kehidupan seksual dengan pria sebagai bentuk protes terhadap sistem patriarki yang mendominasi banyak aspek kehidupan mereka.
Gerakan ini, meskipun bersifat pribadi, membawa dampak yang signifikan terhadap masyarakat Korea Selatan, terutama dalam hal penurunan angka kelahiran yang telah lama menjadi masalah di negara tersebut. Selain itu, tren ini juga mencerminkan keresahan yang lebih luas terkait dengan ekspektasi sosial terhadap wanita, diskriminasi gender di tempat kerja, serta tingginya biaya hidup yang membuat banyak wanita merasa tertekan untuk membentuk keluarga. Semakin banyaknya wanita yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak, memunculkan tantangan besar bagi pemerintah Korea Selatan yang berupaya untuk mengatasi penurunan populasi dan mendukung kesejahteraan keluarga.
Solusi Pemerintah Mengatasi Angka Kelahiran Rendah Korsel
Pada pertengahan 2024 Pemerintah Korea Selatan bahkan membuat parlemen baru dan mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kembali angka kelahiran. Salah satu kebijakan dasar yang di keluarkan dengan memberikan insentif kepada pasangan yang ingin menambah anak ataupun ingin memiliki anak. Untuk pasangan yang akan melahirkan anak pertama akan di berikan sebesar 2 Juta Won, untuk kelahiran anak ke-2 diberikan 3 Juta Won.
Saat usia anak masih berusia dibawah 1 tahun, pasangan tersebut akan di berikan 3 1 Juta Won/Bulan oleh pemerintah. Untuk usia kurang dari 2 tahun diberikan 500 Ribu Won/Bulan. Insentif yang di berikan sebernarnya cukup banyak yang di berikan pada tahun-tahun pertama. Memberikan kebijakan hak cuti untuk Ayah agar dapat mendapingi istri dan anak yang baru lahir menjadi kebijakan ke-2 yang di keluarkan, lalu memberikan keringanan pinjaman kredit perumahan untuk pasangan yang ingin mempunyai anak.
Keringanan biaya pendidikan untuk anak sehingga orang tua tidak keberatan. lalu memperluas program kegiatan after school untuk menjaga dan mengawasi anak-anak saat orang tua bekerja. Uniknya pemerintah bahkan mengeluarkan kebijakan unik-unik. Melakukan Acara Blind Date Massal pada tahun 2023, dengan harapan angka kelahiran meningkat. Di ikuti 400 partisipan single, memberikan layanan salon gratis untuk partisipan Blind Date Massal agar berpenampilan lebih menarik, Wine dan alkohol disediakan dengan harapan suasana lebih romantis. 198 partisipan berhasil menjadi sebagai pasangan pada acara ini.
Tantangan demografis yang dihadapi oleh Korea Selatan, terutama terkait dengan penurunan angka kelahiran, merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan solusi jangka panjang. Berbagai faktor, mulai dari tekanan ekonomi, tingginya biaya hidup, hingga ketidaksetaraan gender, telah membentuk pandangan generasi muda Korea Selatan terhadap pernikahan dan memiliki anak. Munculnya gerakan 4B adalah salah satu contoh bagaimana perasaan ketidakpuasan terhadap sistem sosial dan budaya dapat memengaruhi keputusan individu dalam membentuk keluarga.
Pemerintah Korea Selatan telah mengambil langkah-langkah konkret dengan memberikan berbagai insentif untuk mendorong pasangan agar lebih banyak memiliki anak, namun untuk mencapai perubahan yang signifikan, diperlukan usaha yang lebih luas. Hal ini termasuk perubahan dalam kebijakan sosial yang lebih inklusif, peningkatan kesetaraan gender, serta pemberdayaan keluarga untuk lebih mampu menghadapi tantangan hidup di dunia modern.
Pada akhirnya, bagaimana masyarakat Korea Selatan menyikapi krisis kelahiran ini akan sangat bergantung pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara perkembangan ekonomi, perubahan sosial, dan penghargaan terhadap peran wanita dalam keluarga dan masyarakat. Sementara itu, gerakan 4B yang muncul menunjukkan betapa pentingnya memberikan ruang bagi perempuan untuk menentukan nasib dan pilihan hidup mereka sendiri, tanpa harus terikat pada ekspektasi sosial yang kadang terasa mengekang. Ke depan, solusi atas masalah ini akan melibatkan bukan hanya kebijakan pemerintah, tetapi juga perubahan budaya dan pola pikir masyarakat secara keseluruhan.
Comments0